Just
do it, Move on
Sendiri itu menyenangkan!
Kenapa? Karena bebas. Bisa deketin siapa aja. Sendiri itu kebebasan, kebebasan
kalau tadinya waktu pacaran merasa nggak bebas dan terkekang selama pacaran
berarti sebuah perubahan. Dan nggak pernah ada orang yang bilang kalau
perubahan itu mudah.
Perubahan itu identik sama
dengan memulai yang baru. Makanya, nggak jarang kita menemukan orang-orang yang
susah move on, termasuk gue.
Curhat dikit, gaes. Belum
lama ini gue baru aja putus. Tapi gue masih berusaha mempertahaninnya, entahlah
nanti hasilnya apa. Kan katanya, pacaran itu kaya sepatu, semua orang punya
sepatu dan nggak semuanya pas. Ada dua pilihan, masih mau pake sepatu itu atau
cari sepatu lain. Gue masih mau pake sepatu yang lama. Selain karna pas, juga
masih nyaman buat dipake.
Move
on itu
seperti berlari. Ketika kita baru saja menyudahi satu sesi lari, diisi dengan
mengerahkan tenaga, melewati haling rintang yang di ibaratkan sebuah kenangan. Kemudian
lari itu harus berhenti, benar-benar terhenti. Dan supaya tidak berlarut-larut,
kita dituntut untuk langsung berlari lagi. Pasti dibutuhkan tenaga yang ekstra
tinggi. Makanya, terasa berat.
Banyak yang bilang, orang
yang nggak mau memulai sama yang baru itu disebut susah move on. Susah move on bukan
berarti susah memulai dengan orang baru. Karena sebelum memulai sama orang yang
baru, orang yang baru putus itu harus menghadapi maasa-masa move on, yaitu menjalani hidup tanpa
dia. Melewati hari-hari dengan melupakan kebiasaan-kebiasaan lama saat
bersamanya. Dan sepertinya, untuk menghadapi tahap ini aja, gue belum
benar-benar siap.
Sendiri
berarti kebebasan… sampai datang waktunya kesepian.
Gue nggak sadar, kalau
hubungan gue waktu itu sama dia ibarat orang yang punya hobi dan asyik kerja,
tapi dia lupa makan, dan akhirnya orang itu sakit. Tapi gue nggak cepet-cepet
buat mengobatinya dan semakin parah. Gue nggak berusaha menyelamatkan hubungan
ini yang semakin parah seperti kanker stadium empat dan hasilnya malah dapet
kabar yang lebih menyakitkan lagi. Harus berpisah.
Seperti obat yang rasanya
nggak enak. Yang namanya sebuah “Perbaikan” emang nggak pernah terasa enak.
Tapi se-enggak enak apapun sebuah perbaikan, tujuannya supaya semuanya jadi
lebih baik. Meski nggak enak, kalau perbaikan itu udah selesai, semuanya bakal
baik lagi.
Yang
dipertahankan saja bisa hilang, apalagi yang tidak.
Semua yang pernah gue
lewatin sama dia, semua terasa manis. Semua yang gue sama dia lalui
bareng-bareng, semua manis. Hampir semua. Gue sadar, untuk bisa bersama, rasa
sayang aja nggak cukup. Harus selalu ada buat dia yang tersayang. Dan mungkin
gue nggak bisa, atau bahkan kita sama-sama nggak bisa.
Mungkin sekarang dia nggak
pernah bisa menutupi ‘lubang’ yang ada di hati gue. Akhirnya seperti gigi,
lubang itu dibiarkan, semakin besar, dan semakin terasa sakit. Ketika rasa
sakit itu sudah semakin parah, maka satu-satunya gigi itu harus dicabut.
Seperti gigi pula, perasaan yang ada di antara gue dan dia (mungkin) sekarang
harus benar-benar dicabut.
Semua yang indah, sia-sia kalau cuma “pernah”
My story same with you lang, tapi gw mah gajadian
BalasHapus