Nama : Gilang Putra Utama
Kelas : 3ID14
Landasan
kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam
KEBIJAKSANAAN
PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM pada
dasarnya sumber hukum utama yang menjadi dasar kebijaksanaan pemanfaatan
sumberdaya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dimana negara
sebagai penguasa dari ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya’ mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perintah UUD tersebut dengan
pembatasan penggunaannya ‘untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ UUD
sendiri tidak memberikan penjelasan tentang batasan tugas negara dalam
pelaksanaan kekuasaannya tersebut, sedangkan perintah pelaksanaannya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut masih harus dijabarkan dalam bentuk
produk legislatif yang lebih operasional.
Produk-produk
legislatif yang lahir kemudian mengikuti proses evolusi yang telah digambarkan
di atas, lalu lahirlah UU Pokok Agraria dan UU Migas pada tahun 1960, diikuti
dengan UU Pokok Pertambangan dan UU Pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU No. 1
tahun 1967 tentang PMA dan UU PMDN tahun 1968 memicu lahirnya beberapa produk
perundangan lainnya seperti UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No. 5
tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, dan UU No. 9 tahun 1985 tentang
Perikanan. Seperti telah disebutkan di atas kesadaran terhadap keterkaitan
pelbagai jenis sumberdaya alam satu dengan lainnya baru lahir pasca Deklarasi
Stockholm 1972.
Hal ini
tercermin dengan diperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam GBHN
1973. Konsep ini secara terus menerus dijadikan pedoman dalam setiap tahapan
pembangunan dari satu PELITA ke PELITA lainnya. Dalam GBHN 1993, misalnya
disebutkan, antara lain, bahwa : “2. Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang
beranekaragam perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tataguna
tanah, tata gunaair dan sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan
lingkungan hidup yang dinamis.” Lebih jauh dalam GBHN 1998 yang belum sempat
dilaksanakan secara sepenuhnya karena terjadi perubahan pemerintah dari Orde
Baru ke era reformasi dan selanjutnya era demokrasi, pedoman serupa menjadi
dasar dalam penetapan Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua, yang berbunyi,
antara lain, sebagai berikut : “Pendayagunaan sumberdaya alam sebagai
pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan
bertanggungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Tata ruang
nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan
pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam
dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan effektif.” Lebih jauh
pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan melalui : “Pembangunan
ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan dan
pertambangan harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam,
disamping untuk memberikan kemanfaatan masa kini juga harus menjamin masa
depan.”
Arah kebijaksanaan demikian menunjukkan adanya
faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. perlunya konservasi sumberdaya alam melalui
pemanfaatannya secara efisien, untuk menjamin kemanfaatan tidak saja pada masa
sekarang tetapi juga untuk masa yang akan datang, antara lain dengan
memperhatikan daya dukung ekosistemnya, serta ditujukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat;
2. perlunya penetapan prioritas pemanfaatan
sumberdaya alam, baik untuk jenis-jenis tertentu, atau dalam macam-macam
penggunaan terhadap satu jenis tertentu. Penetapan prioritas ini harus
dilakukan dengan memperhatikan semua kepentingan dan hak yang ada agar dapat
ditetapkan pemanfaatan yang paling banyak menjamin kepentingan umum;
3. perlunya pemanfaatan sumberdaya alam secara
optimum, karena persediaan yang tidak seimbang dengan permintaan akan
memerlukan perbaikan dalam pengelolaannya
4. pemanfaatan langsung oleh negara
terhadap jenis-jenis sumberdaya alam tertentu.
Hal-hal tersebut di atas sudah
barang tentu akan sangat berpengaruh dalam pengaturannya, sehingga akan
menimbulkan dampak penyesuaian bahkan perubahan terhadap peraturan
perundang-undangan yang telah ada. Dengan demikian peraturan perundang-undangan
yang tadinya hanya mengatur tentang hubungan antar para pemanfaat sumberdaya
alam tersebut, harus disesuaikan atau diubah substansinya sehingga meliputi
juga aturan tentang hubungan antara negara dengan pera pemanfaat, antara
pemanfaat dengan sumberdaya alamnya, serta hubungan antara pelbagai instansi
pemerintah terkait. Dari produk perundang-undangan yang ada kita melihat bahwa
UU yang terbit setelah tahun 1982 yaitu setelah dilahirkannya UU No. 4 tentang
ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, mengandung beberapa ketentuan yang mengarah kepada
pengaturan seperti yang disebutkan di atas.
Dengan demikian
UU tentang Zona Ekonomi Eksklusif misalnya, mengandung ketentuan yang membatasi
pemanfaatan sumberdaya hayati, seperti juga halnya dengan UU No. 9 tahun 1985
tentang Perikanan. Kalau kita telaah dari sejak awal terjadinya peningkatan
pembangunan nasional terutama pada awal pemerintahan Orde Baru, sumberdaya alam
lebih difahami dalam arti nilai ekonomisnya ketimbang nilai ekologis atau
keberlanjutannya. Kebutuhan investasi untuk memulihkan keadaan ekonomi
Indonesia pada waktu itu semakin terpacu dengan dikeluarkannya dua produk
legislatif di bidang investasi yaitu UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negri.
Indonesia yang sedang dalam keadaan terpuruk ekonominya pada waktu itu sangat
menggantungkan diri pada sumberdaya alam sebagai modal untuk menarik investasi
dari pelbagai pihak. Sejak saat itu kita melihat adanya semacam ‘boom’ di
bidang migas, dan PERTAMINA adalah primadona di bidang pendapatan negara.
Perkembangan selanjutnya dalam keberlangsungan Indonesia suatu negara yang kaya
akan pelbagai sumberdaya alam ini, diperburuk lagi dengan krisis ekonomi yang
dimulai padatahun 1997 yang pada akhirnya juga memicu krisis politik atau
pemerintahan. UU No. 4 tahun 1982 itu sendiri sebagai UU yang mengatur hanya
ketentuan-ketentuan pokok tentang lingkungan hidup secara umum, belum menyentuh
masalah pemanfaatan sumberdaya alam secara rinci.
Sehingga
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tiap jenis sumberdaya alam
sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur tentang tiap jenis
sumberdaya alam sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur
lingkungan hidup dimana sumberdaya alam tersebut berada. Ditambah lagi dengan
kenyataan bahwa UU No. 4 1982 itu pun masih mengandung kekurangan karena
pengaturannya dapat dikatakan hanya mengarah pada satu matra saja, yaitu matra
darat. Baru setelah UU ini diubah dengan UU No. 23 tahun 1997 timbul pelbagai
harapan akan terjadi perubahan dalam kebijaksanaan pemerintah untuk mengelola
sumberdaya alam, yaitu dengan berpedoman pada suatu UU Pokok yang lebih rinci
dibanding dengan UU sebelumnya. Dampak dari arah kebijaksanaan demikian
terhadap pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam akan memerlukan suatu perubahan
yang substantif, sehingga materi pengaturannya tidak lagi mengatur hubungan
antara individu atau badan hukum sesama pemanfaat sumberdaya alam, akan tetapi
juga hubungan antara para pemanfaat tersebut dengan negara sebagai pelaksana
(trustee) dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, serta hubungan antara negara dengan
para pemanfaat di satu pihak dengan para pemanfaat tersebut dengan sumberdaya
alam dan lingkungan hidupnya dilain pihak.
Sumber
: jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5245/2624
Tidak ada komentar:
Posting Komentar