Kamis, 30 Maret 2017

Landasan Lingkungan

Nama                   : Gilang Putra Utama
Kelas                    : 3ID14

Landasan kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam
KEBIJAKSANAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA ALAM  pada dasarnya sumber hukum utama yang menjadi dasar kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dimana negara sebagai penguasa dari ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya’ mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perintah UUD tersebut dengan pembatasan penggunaannya ‘untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.’ UUD sendiri tidak memberikan penjelasan tentang batasan tugas negara dalam pelaksanaan kekuasaannya tersebut, sedangkan perintah pelaksanaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut masih harus dijabarkan dalam bentuk produk legislatif yang lebih operasional.
Produk-produk legislatif yang lahir kemudian mengikuti proses evolusi yang telah digambarkan di atas, lalu lahirlah UU Pokok Agraria dan UU Migas pada tahun 1960, diikuti dengan UU Pokok Pertambangan dan UU Pokok Kehutanan pada tahun 1967. UU No. 1 tahun 1967 tentang PMA dan UU PMDN tahun 1968 memicu lahirnya beberapa produk perundangan lainnya seperti UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian, UU No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, dan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Seperti telah disebutkan di atas kesadaran terhadap keterkaitan pelbagai jenis sumberdaya alam satu dengan lainnya baru lahir pasca Deklarasi Stockholm 1972. 
Hal ini tercermin dengan diperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam GBHN 1973. Konsep ini secara terus menerus dijadikan pedoman dalam setiap tahapan pembangunan dari satu PELITA ke PELITA lainnya. Dalam GBHN 1993, misalnya disebutkan, antara lain, bahwa : “2. Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beranekaragam perlu dikembangkan pola tata ruang yang menyerasikan tataguna tanah, tata gunaair dan sumberdaya alam lainnya dalam satu kesatuan tatanan lingkungan hidup yang dinamis.” Lebih jauh dalam GBHN 1998 yang belum sempat dilaksanakan secara sepenuhnya karena terjadi perubahan pemerintah dari Orde Baru ke era reformasi dan selanjutnya era demokrasi, pedoman serupa menjadi dasar dalam penetapan Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua, yang berbunyi, antara lain, sebagai berikut : “Pendayagunaan sumberdaya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan effektif.” Lebih jauh pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilaksanakan melalui : “Pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan dan pertambangan harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, disamping untuk memberikan kemanfaatan masa kini juga harus menjamin masa depan.”
 Arah kebijaksanaan demikian menunjukkan adanya faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya, yaitu :
 1. perlunya konservasi sumberdaya alam melalui pemanfaatannya secara efisien, untuk menjamin kemanfaatan tidak saja pada masa sekarang tetapi juga untuk masa yang akan datang, antara lain dengan memperhatikan daya dukung ekosistemnya, serta ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
 2. perlunya penetapan prioritas pemanfaatan sumberdaya alam, baik untuk jenis-jenis tertentu, atau dalam macam-macam penggunaan terhadap satu jenis tertentu. Penetapan prioritas ini harus dilakukan dengan memperhatikan semua kepentingan dan hak yang ada agar dapat ditetapkan pemanfaatan yang paling banyak menjamin kepentingan umum;
 3. perlunya pemanfaatan sumberdaya alam secara optimum, karena persediaan yang tidak seimbang dengan permintaan akan memerlukan perbaikan dalam pengelolaannya
4. pemanfaatan langsung oleh negara terhadap jenis-jenis sumberdaya alam tertentu.
Hal-hal tersebut di atas sudah barang tentu akan sangat berpengaruh dalam pengaturannya, sehingga akan menimbulkan dampak penyesuaian bahkan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang tadinya hanya mengatur tentang hubungan antar para pemanfaat sumberdaya alam tersebut, harus disesuaikan atau diubah substansinya sehingga meliputi juga aturan tentang hubungan antara negara dengan pera pemanfaat, antara pemanfaat dengan sumberdaya alamnya, serta hubungan antara pelbagai instansi pemerintah terkait. Dari produk perundang-undangan yang ada kita melihat bahwa UU yang terbit setelah tahun 1982 yaitu setelah dilahirkannya UU No. 4 tentang ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, mengandung beberapa ketentuan yang mengarah kepada pengaturan seperti yang disebutkan di atas.
Dengan demikian UU tentang Zona Ekonomi Eksklusif misalnya, mengandung ketentuan yang membatasi pemanfaatan sumberdaya hayati, seperti juga halnya dengan UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan. Kalau kita telaah dari sejak awal terjadinya peningkatan pembangunan nasional terutama pada awal pemerintahan Orde Baru, sumberdaya alam lebih difahami dalam arti nilai ekonomisnya ketimbang nilai ekologis atau keberlanjutannya. Kebutuhan investasi untuk memulihkan keadaan ekonomi Indonesia pada waktu itu semakin terpacu dengan dikeluarkannya dua produk legislatif di bidang investasi yaitu UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negri. Indonesia yang sedang dalam keadaan terpuruk ekonominya pada waktu itu sangat menggantungkan diri pada sumberdaya alam sebagai modal untuk menarik investasi dari pelbagai pihak. Sejak saat itu kita melihat adanya semacam ‘boom’ di bidang migas, dan PERTAMINA adalah primadona di bidang pendapatan negara. Perkembangan selanjutnya dalam keberlangsungan Indonesia suatu negara yang kaya akan pelbagai sumberdaya alam ini, diperburuk lagi dengan krisis ekonomi yang dimulai padatahun 1997 yang pada akhirnya juga memicu krisis politik atau pemerintahan. UU No. 4 tahun 1982 itu sendiri sebagai UU yang mengatur hanya ketentuan-ketentuan pokok tentang lingkungan hidup secara umum, belum menyentuh masalah pemanfaatan sumberdaya alam secara rinci.
Sehingga peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tiap jenis sumberdaya alam sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur tentang tiap jenis sumberdaya alam sektoral berjalan terpisah dari UU Pokok yang mengatur lingkungan hidup dimana sumberdaya alam tersebut berada. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa UU No. 4 1982 itu pun masih mengandung kekurangan karena pengaturannya dapat dikatakan hanya mengarah pada satu matra saja, yaitu matra darat. Baru setelah UU ini diubah dengan UU No. 23 tahun 1997 timbul pelbagai harapan akan terjadi perubahan dalam kebijaksanaan pemerintah untuk mengelola sumberdaya alam, yaitu dengan berpedoman pada suatu UU Pokok yang lebih rinci dibanding dengan UU sebelumnya. Dampak dari arah kebijaksanaan demikian terhadap pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam akan memerlukan suatu perubahan yang substantif, sehingga materi pengaturannya tidak lagi mengatur hubungan antara individu atau badan hukum sesama pemanfaat sumberdaya alam, akan tetapi juga hubungan antara para pemanfaat tersebut dengan negara sebagai pelaksana (trustee) dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, serta hubungan antara negara dengan para pemanfaat di satu pihak dengan para pemanfaat tersebut dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya dilain pihak.

Sumber : jurnal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5245/2624



Tidak ada komentar:

Posting Komentar